Penurunan Daya Beli Kelas Menengah Bawah di Penghujung Tahun 2024, Pengamat dari Udinus, Nanda Adhi: Perlu Kebijakan yang Pro Rakyat !

[Sassy_Social_Share]

Penurunan Daya Beli Kelas Menengah Bawah di Penghujung Tahun 2024, Pengamat dari Udinus, Nanda Adhi: Perlu Kebijakan yang Pro Rakyat !

[Sassy_Social_Share]

Indikasi penurunan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, semakin nyata dari beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini. Pengamat sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Nanda Adhi Purusa, S.E., M.E., menyoroti tren penurunan ini dan mengingatkan pemerintah untuk mengambil langkah konkret.

Fenomena pertama yang menjadi perhatian adalah fenomena ‘mantap’ atau makan tabungan, yang menunjukkan tergerusnya tingkat tabungan masyarakat. Terlihat saat ini, masyarakat mulai mengurangi porsi tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

“Hal ini menunjukkan adanya tekanan yang cukup kuat pada kemampuan konsumsi rumah tangga,” ujar Nanda.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa penurunan proporsi kelas menengah juga cukup signifikan. Berdasarkan data yang dihimpun, proporsi kelas menengah pada 2019 berada di angka 21,45 persen. Namun pada 2024, angka tersebut menyusut menjadi 17,13 persen. Di sisi lain, jumlah penduduk rentan miskin justru meningkat dari 20,56 persen pada 2019 menjadi 24,23 persen tahun ini.

“Kondisi ini harus segera diantisipasi, karena jika tidak, dampaknya bisa semakin buruk terhadap perekonomian secara keseluruhan,” tegasnya.

Selain itu, perkembangan indeks harga konsumen yang menunjukkan adanya deflasi secara bulanan dalam enam bulan terakhir menjadi perhatian khusus. Menurut Nanda, tren penurunan harga ini bisa menjadi indikasi melemahnya daya beli masyarakat, meskipun perlu kajian lebih lanjut apakah deflasi tersebut murni disebabkan oleh faktor permintaan yang lemah atau ada faktor lainnya.

Sementara pada sektor ketenagakerjaan, Nanda menyebutkan berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meningkat sepanjang tahun 2024. Data tersebut  mencerminkan kondisi sektor riil yang belum pulih sepenuhnya, sehingga banyak perusahaan yang terpaksa merumahkan pekerjanya.

Dari sisi kebijakan moneter, penurunan suku bunga acuan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen pada September lalu memberikan angin segar bagi pasar. Namun, Nanda mengingatkan bahwa langkah ini harus diikuti dengan kebijakan fiskal yang proaktif.

“Saya kira, pemerintah perlu memperkuat daya beli masyarakat dengan kebijakan yang mendukung sektor industri dan belanja pemerintah. Misalnya, meningkatkan belanja yang dapat memberikan efek pengganda terhadap konsumsi masyarakat,” jelasnya.

Selain itu, stabilitas sosial politik juga menjadi faktor yang penting di tengah transisi pemerintahan dan pilkada serentak yang akan digelar. Dengan langkah-langkah strategis ini, diharapkan daya beli masyarakat bisa kembali pulih dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ke arah yang lebih baik.

“Kepastian politik sangat berpengaruh pada iklim investasi dan kinerja industri, terutama yang padat karya,” pungkasnya.