Guna menyiasati kebutuhan obat-obatan dan tenaga medis yang jumlah kebutuhannya cukup besar menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) menggelar diskusi ilmiah “Mewujudkan Swasembada Kesehatan.”
Selain bahan pangan, Indonesia saat ini perlu mewujudkan swasembada di lini lain seperti dalam lingkup kesehatan. Swasembada kesehatan bisa berupa mandiri bahan obat dan tenaga kesehatan dari negara sendiri. “Kebutuhan obat-obatan yang banyak dan cukup mahal membuat Indonesia perlu menggalakkan swasembada kesehatan melalui diskusi ini,” jelas Dr. dr Sri Andarini I. M.Kes dekan Fakultas Kesehatan Udinus disela-sela sambutannya. Dalam diskusi tersebut, Fkes Udinus mengundang tiga narasumber yang mumpuni di bidangnya yakni, DR Fabio De Mesquita Ph.D Technical Officer dari World Health Organization asal Brazil, Drs Inang Winarso (Antopolog Kesehatan) dan Eti Rimawati, S.KM M.Kes Dosen Fkes Udinus. Diskusi tersebut diikuti oleh sekitar 150 peserta dan diselenggarakan di Gedung C Udinus lantai 4, beberapa waktu lalu.
Inang mengatakan jika saat ini 90% bahan baku obat di Indonesia masih impor. 54% dari China, 27% dari Eropa dan sisanya 9% diimpor dari Eropa. Sedangkan pasar farmasi di Indonesia saat ini mencapai 300 Triliun Rupiah. Pembiayaan kesehatan bersumber dari APBN, APBD, BPJS dan sisanya dari pihak pasien pribadi. Masih banyak potensi yang belum maksimal pemanfaatannya di Indonesia. “Sebenarnya kita bisa meneliti kandungan-kandungan tumbuhan herbal yang berpotensi menjadi obat,”jelas Inang. Terbukanya Masyarakat Ekonomi Asean juga menambah persaingan tenaga kerja kesehatan di Indonesia. “Itu mengapa kita sangat perlu mewujudkan swasembada kesehatan. Karena serapan pembiayaan kesehatan saat ini sangat tinggi dan mayoritas bahan baku obat dan alat kesehatan masih impor,” pungkas Inang mengakhiri sesi miliknya.
Sedangkan Fabio fokus menjabarkan kondisi penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Brazil. Fabio menjelaskan Brazil saat ini sangat responsif dalam penanganan virus mematikan tersebut. Selain penanganan pada Orang Dengan HIV AIDS (Odha), Brazil sangat konsen pada tindakan preventif. Sekurang-kurangnya 7 juta penduduk Brazil melakukan tes HIV di tahun 2015. Brazil juga menggalakan terapi antiretroviral (ART) yang mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai obat antiretroviral (ARV), ART dapat melambatkan pertumbuhan virus. Sedangkan di Indonesia ketersediaan obat tersebut masih tergolong langka dan cukup mahal. “Indonesia dan Brazil adalah negara berkembang yang besar. Tentu sangat banyak masalah sosial yang berhubungan dengan kesehatan,” ujar Fabio.
Dalam acara tersebut juga disediakan tempat khusus untuk tes HIV secara cuma-cuma bagi mahasiswa dan kayawan. “Karena mengetahui lebih dini terjangkit virus atau tidak sangat berpengaruh pada proses perlambatan berkembangnya virus,” pungkas Fabio.
PAPARAN : Drs Inang Winarso, seorang Antopolog Kesehatan memaparkan buah pemikirannya mengenai Swasembada Kesehatan di hadapan mahasiswa FKes Udinus beberapa waktu lalu. Foto : Meyta Adelianah