Perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang semakin pesat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi dunia pers. Dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2025, Wakil Rektor Bidang Umum, Keuangan, dan SDM Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Dr. Guruh Fajar Shidik, S.Kom., M.Cs., menyoroti bagaimana AI telah berkembang dari masa ke masa dan dampaknya terhadap industri jurnalistik.
Dalam paparannya pada acara yang digelar di Aula RS Unimus, Dr. Guruh Fajar Shidik, S.Kom., M.Cs., mengajak para peserta untuk melihat perkembangan AI. Menurutnya, topik mengenai AI sudah mulai dibahas sejak tahun 1950, ketika Alan Turing menerbitkan makalah ‘Machinery and Intelligence’.
“Pada saat itu, AI masih sebatas gagasan ilmiah saja namun seiring waktu, teknologi ini berkembang dengan berbagai tantangan. Mulai dari keterbatasan komputasi hingga munculnya machine learning dan deep learning,” ujar Guruh di depan ratusan peserta.
Menurutnya, AI telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, termasuk dalam dunia pers. Ia mencontohkan bagaimana media besar di Amerika Serikat, seperti The Washington Post telah memanfaatkan teknologi AI. Teknologi tersebut dipergunakan untuk memproduksi berita dengan cepat melalui sistem bernama Holograph.
Namun, ia menekankan bahwa AI tetap memiliki keterbatasan, terutama dalam hal investigasi jurnalistik.Lanjutnya, AI memang bisa membuat artikel dalam hitungan detik, tetapi ada satu hal yang tidak bisa digantikan, yaitu intuisi dan analisis mendalam seorang jurnalis.
“Saya mencontohkan dalam kasus The Panama Papers, AI tidak bisa menemukan temuan investigatif seperti yang dilakukan oleh jurnalis. Ini menunjukkan bahwa AI hanyalah alat yang membantu, bukan pengganti,” tegasnya.
Lebih Bijak Menggunakan AI
Lebih lanjut, Guruh menjelaskan bahwa AI memiliki keunggulan dalam proofreading, penerjemahan bahasa, serta analisis data. Namun, Guruh mengingatkan agar AI digunakan sebijak mungkin dan tidak sepenuhnya diandalkan tanpa pengawasan manusia.
“Kita harus lebih bijaksana dalam memanfaatkan AI. Teknologi ini sangat efisien untuk membantu profesionalisme kita bekerja, tetapi tetap membutuhkan kontrol dari manusia. Insight dasar dan intuisi jurnalis tidak bisa digantikan oleh AI, karena AI hanya belajar dari data yang kita berikan,” tambahnya.
Guruh juga menyoroti perubahan besar dalam industri media, di mana banyak perusahaan pers beralih dari format cetak ke digital. Hal itu menjadi bukti bahwa pers harus terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
“Dulu, media cetak seperti The Washington Post dan New York Times sudah mulai mengalihkan fokus mereka ke platform digital agar tetap relevan. Ini menunjukkan bahwa industri pers harus mampu berinovasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman,” ungkapnya.
Menutup pernyataannya, Guruh berharap para jurnalis tetap mengedepankan etika dan profesionalisme dalam menghadapi era AI. AI memang bisa membantu kita bekerja lebih efisien, tetapi tetaplah jurnalis yang menentukan kualitas dan keakuratan berita.
“Jangan sampai kita kehilangan nilai dasar dalam dunia jurnalistik. Setiap masa ada teknologinya, dan setiap teknologi ada masanya” pungkasnya.
Sebagai informasi, pemaparan tersebut disampaikan oleh Wakil Rektor II Bidang Umum, Keuangan, dan SDM Udinus pada kesempatan itu mewakili Rektor Udinus, Prof. Dr. Pulung Nurtantio Andono, S.T., M.Kom., saat mengikuti acara ‘Dialog Lima Rektor’. Sebuah acara yang merupakan serangkaian peringatan HPN Tingkat Jateng dan HUT Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng. Pada tahun 2025 tema pada kegiatan tersebut yakni ‘Masa Depan Pers di Era AI’. (Humas Udinus/Alex. Foto: Dok. Dialog Lima Rektor)