Selain memiliki potensi wisata dan kuliner yang mengundang selera, Kota Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki beberapa destinasi wisata yang kental akan sejarah serta nilai religius. Masjid Jogokariyan satu diantaranya, yang menawarkan berbagai nuansa wisata religi yang kaya akan sejarah dalam proses pendiriannya. Studi banding yang dilakukan 19 orang peserta dari Pusat Aktivitas Muslim (PAM) Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) sebagai upaya menggali secara empiris terkait sejarah Masjid Jogokariyan Yogyakarta, pada 15-16 Februari 2019 lalu. 

Bagaimana tidak? Masjid yang berdiri sejak 53 tahun silam, memiliki berbagai intrik dan rintangan dalam proses pembangunannya.

Pembangunan Masjid Jogokariyan tidak terlepas dari dinamika sosial yang terjadi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada waktu itu, Sultan Hamengkubuwono membuka Kampung Jogokariyan karena sesaknya ndalem Beteng Baluwerti di Keraton. Dalam proses pembangunan Masjid Jogokariyan tidak terlepas dari kontribusi para pengrajin batik and tenun yang ada di Kampung Jogokariyan. Mereka yang tergabung dalam kelompok Koperasi Batik “Karang Tunggal” dan Koperasi Tenun “Tri Jaya” di awal bulan Jui 1966.

 

Menurut Rosidi yang merupakan Perwakilan dari pengurus Masjid Jogokariyan, nama Jogokariyan yang disematkan dalam nama masjid tersebut pun dipilih oleh para perintis dan para pendiri kala itu. Pemberian nama tersebut pun memiliki berbagai  alasan yang utama yakni nama “Jogokariyan” diyakini akan mampu merekatkan dan mempersatukan masyarakat Jogokariyan yang sebelumnya terpecah belah karena perbedaan aliran dan gerakan politik.

Dimana kala  itu, pada tahun 1965, meletus gerakan G30S yang banyak menangkap serta memenjarakan warga-warga sipil yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Momentum tersebut adalah masa dimana Kampung Jogokariyan dikenal sebagai sarang Komunisme. Dengan pemberian tersebut diharapkan mampu menghapus citra buruk di Kampung Jogokariyan dan mempersatukan masyarakat disana.

Didirikan di tanah seluas 1478 meter persegi yang terdiri dari tiga lantai, Masjid Jogokariyan berdiri kokoh diantara rumah-rumah warga yang berdiri disekitarnya. Bangunan tersebut juga dilengkapi dengan beberapa fasilitas, tiga diantaranya adalah bangunan utama 3 lantai, ruang utama 1 buah, dan ruang serbaguna 1 buah.

 

Sementara itu, dalam perjalanannya, Ketua PAM Udinus, Andik Setyono, Ph.D mendapatkan berbagai hal yang menarik dari sejarah masjid yang telah berdiri puluhan tahun tersebut. Ia mendapati bahwa dalam pengelolaan Masjid yang merupakan rumah Allah, Takmir yang merupakan pegawai Allah harus totalitas dalam bekerja. Selain itu, disetiap kegiatan di Masjid Jogokariyan pun dikemas dengan apik dan menyesuaikan perkembangan teknologi saat ini. “Kami melihat dan saat berbincang-bincang dengan pengurus masjid Jogokariyan, bahwa dalam prosesnya takmir masjid bekerja secara totalitas dan tetap memanfaatkan teknologi dalam proses publikasi dan pengelolaannya,” imbuhnya.

Selain berkunjung ke Masjid Jogokariyan yang terkenal akan filosofi dan sejarahnya, PAM Udinus juga melakukan kunjungan ke Masjid K.H.Ahmad Dahlan yang berada di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).  Dalam kunjungan kedua tersebut PAM Udinus diterima langsung oleh jajaran pengurus masjid,  Miftakhul Haq S.H.I., M.S.I yang merupakan ketua takmir masjid. Kunjungan kedua yang diselenggarakan pada 16 Februari yang lalu membahas terkait pengelolaan dan jadwal kajian.

 

Kahumas Udinus, Agus Triyono, S.Sos, Msi berharap agar studi banding tersebut menjadi suatu kegiatan yang mampu mendapatkan ilmu yang lebih untuk mengelola masjid menjadi lebih baik lagi. “Ini menjadi satu sarana yang bagus agar pengelolaan masjid di Udinus menjadi lebih baik lagi,” tutupnya. (*Humas Udinus/lex/AT/ Foto : Alex Devanda)